TERASBANDUNG.COM - Badan Gizi Nasional menegaskan pentingnya kolaborasi UMKM dan kelompok masyarakat sebagai fondasi ketahanan pangan bergizi, khususnya saat daerah menghadapi risiko dan dampak bencana.

Hal ini disampaikan PLT Deputi Promosi dan Kerja Sama Badan Gizi Nasional, Dr. Gunalan pada kegiatan bertema “Kolaborasi UMKM dan Kelompok Masyarakat sebagai Pilar Ketahanan Penyediaan Pangan Bergizi di Tengah Risiko dan Dampak Bencana”.

Dia mengatakan bencana besar yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera dan daerah lain menunjukkan betapa rapuhnya sistem pangan apabila terlalu bergantung pada pasokan dari luar wilayah.

Dalam kondisi darurat, ketika akses distribusi terputus, dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dituntut mampu bertransformasi menjadi dapur tanggap bencana yang mengandalkan kekuatan sumber daya lokal.

“Keterlibatan UMKM dan kelompok masyarakat dalam penyediaan bahan pangan menjadi kunci utama keberlanjutan Program MBG, baik pada situasi normal maupun pascabencana. Kedekatan UMKM dengan sumber produksi lokal memungkinkan rantai pasok yang lebih pendek, adaptif, dan tangguh, sekaligus memperkuat ketahanan pangan daerah dalam menghadapi bencana," paparnya, Senin 15 Desember 2025.

Pengalaman di berbagai daerah menunjukkan wilayah yang telah memaksimalkan peran UMKM lokal memiliki stabilitas pasokan yang lebih baik dibanding daerah yang masih bergantung pada pasar besar dan ritel modern.

Hingga 13 Desember 2025, jumlah SPPG operasional secara nasional telah mencapai 17.362 unit, melayani lebih dari 44 juta penerima manfaat. Di Jawa Barat, terdapat 3.959 unit SPPG dengan penerima manfaat lebih dari 11 juta jiwa, di mana sekitar 85 persen perputaran dana SPPG kembali ke pemasok dan masyarakat lapisan bawah.

Capaian ini menunjukkan dampak ekonomi yang nyata, meski penguatan aspek produksi bahan baku di tingkat lokal masih perlu terus didorong.

Melalui Keputusan Kepala Badan Gizi Nasional Nomor 244 Tahun 2025, juknis pelaksanaan Program MBG telah direvisi dengan penegasan bahwa belanja bahan baku diprioritaskan melalui BUMDes, koperasi, UMKM, dan usaha lokal.

Kebijakan ini menempatkan UMKM sebagai aktor strategis dalam sistem pangan nasional sekaligus pilar ketahanan pangan saat terjadi bencana.

Badan Gizi Nasional berharap kolaborasi lintas sektor yang terbangun dapat melahirkan rantai pasok pangan bergizi yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan, sekaligus memperkuat kesiapsiagaan daerah menghadapi risiko bencana.

Ketahanan pangan bukan semata soal ketersediaan bahan, tetapi tentang kemampuan membangun kerja sama yang solid dan berpihak pada masyarakat.